Kasus pembacokan nenek oleh cucunya sendiri terjadi di Dusun Mayang, Desa Kronggen, Kecamatan Brati, Kabupaten Grobogan pada Selasa (14/01/2025).
Kronologi kejadian bermula dari seorang anak bernama AF yang sering ditegur oleh ibunya. Demi keselamatan AF, ibunya melarangnya menggunakan sepeda motor, yang membuatnya merasa kecewa dan tersakiti.
Tanpa henti, perasaan frustrasi yang dialami AF memicu emosinya, hingga ia mengambil keputusan nekat dengan mengambil senjata tajam jenis arit dari rumahnya, berniat melukai ibunya. Namun, malang bagi AF, karena neneknya, Jumi, yang berada di samping ibunya, berusaha menangkis serangan tersebut, sehingga mengakibatkan luka di tangannya.
Melihat kejadian itu, warga setempat segera menghubungi petugas Polsek Brati.
Sesampainya di lokasi, petugas menemukan warga telah mengepung AF dan berhasil mengamankannya. Korban, nenek Jumi, yang terluka akibat sabetan senjata tajam, segera dievakuasi ke klinik terdekat untuk mendapatkan perawatan.
Berdasarkan postingan situs islam.nu.or.id menjelaskan bahwa termasuk golongan durhaka kepada orangtua ataupun sebaliknya
Al-Imam al-Ghazali menegaskan bahwa jika anak dibiasakan untuk berbuat baik sejak usia dini, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang baik dan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam proses pendidikan ini, orang tua dan pendidiknya berhak mendapatkan pahala atas usaha tersebut. Sebaliknya, jika anak dibiarkan terdidik dalam keburukan, mereka akan terbiasa melakukan hal-hal negatif dan akan sengsara di dunia serta di akhirat. Dalam hal ini, orang tua dan pendidiknya juga akan memikul dosa akibat kelalaian mereka.
Guna mendalami lebih jauh, kita bisa merujuk pada pandangan Imam al-Ghazali mengenai lima adab yang seharusnya dimiliki orang tua terhadap anak mereka. Namun, penting untuk diingat bahwa tidak sepenuhnya menjadi kesalahan anak jika ia bersikap durhaka. Sahabat Umar bin al-Khathab, ketika menjabat sebagai khalifah, pernah menegaskan hal ini. Suatu ketika, seorang pria mengadukan perilaku kurang ajar anaknya kepada Sahabat Umar. Beliau pun memanggil anak yang bersangkutan untuk ditanya dan memberikan klarifikasi.
Terkejut mendengar pengakuan anak tersebut, ia tidak mengakui kesalahan, melainkan justru mencela orang tuanya yang dianggapnya telah menelantarkannya. "Wahai Amirul Mukminin, bukankah orang tua juga memiliki kewajiban kepada anak? " tanyanya. "Benar," jawab Sayyidina Umar. "Lantas, apa kewajiban orang tua kepada anak? " sahut anak itu lagi.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Sahabat Umar menjelaskan:
أَنْ يَنْتَقِيَ أُمَّهُ وَيُحَسِّنَ اسْمَهُ وَيُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ.
"Orang tua seharusnya memilihkan ibu yang baik untuk anak, memberinya nama yang indah, dan mengajarkannya Al-Qur’an. "
Anak tersebut melanjutkan dengan pernyataan pahit, "Wahai Amirul Mukminin, sungguh ayahku tidak melakukan ketiga hal itu. Ibuku adalah seorang wanita dari keturunan Majusi, dan ayahku menamaku ‘Kumbang’. Dia tidak pernah mengajarkanku satu huruf pun dari Al-Qur’an. "
Mendengarkan klarifikasi tersebut, Sahabat Umar langsung menegur orang tua si anak. Beliau menatap orang tua tersebut dan memberikan nasihat:
جِئْتَ تَشْكُوْ عُقُوْقَ ابْنِكَ وَقَدْ عَقَقْتَهُ قَبْلَ أَنْ يَعُقَّكَ وَأَسَأْتَ إِلَيْهِ قَبْلَ أَنْ يُسِيْئَ إِلَيْكَ.
"Anda datang mengadu kepada saya tentang kenakalan anak Anda, sementara Anda sendiri telah durhaka kepadanya sebelum ia durhaka kepada Anda. Anda telah berbuat buruk kepadanya bahkan sebelum ia berbuat buruk kepada Anda! "
Kisah ini diambil dari kitab "al-Fawaid al-Mukhtarah" karya Habib Ali bin Hasan Baharun, halaman 83-84.
Oleh : ahmad harir