Politik Tak Pandang Gender

 


Oleh : Siti Khofifah

Plato, dalam bukunya Politea, mengartikan politik sebagai suatu susunan atau bentuk negara, dengan tujuan terwujudnya suatu keadilan. Juga dapat dikatakan politik merupakan alat yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu pemerintahan. 


Lorenzetti membedakan politik menjadi dua, yaitu keinginan berpolitik yang baik atau keinginan politik yang jahat. Ekspresi keinginan yang baik adalah bagaimana pengaturan yang adil dan memberikan gambaran kepada masing-masing orang untuk mendapatkan pekerjaan, berdagang, berdansa, dan aktifitas sosial manusia lainnya.Sedangkan pemerintahan yang jahat lahir sebagai tirani yang mengekang kebebasan setiap manusia yang diperintah olehnya.


Langkah untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan adalah dengan berpolitik. Di dalamnya tidak ada perbedaan antara jenis kelamin; perempuan dan laki-laki. Keduanya memiliki kesempatan yang sama dalam berpolitik.bKarena semua jenis kelamin mempunyai peran yang sama dalam memberikan kontribusi dalam berpolitik, seperti hak-hak sipil, ekonomi, sosial budaya dan lainnya, baik secara individu maupun kelompok.


Semuanya mempunyai sifat keterhubungan antara satu sama lainnya, sehingga akan menguatkan dan saling mendukung. Oleh karena itu, pembatasan peran yang didasarkan jenis kelamin akan menghambat terbentuknya suatu kesepakatan dalam mencapai tujuan bernegara. Dalam sistem negara demokrasi akan membutuhkan partai politik untuk membangun sinergitas pelembagaan demokrasi.


Hak politik perempuan dapat disalurkan melalui partai politik, penyaluran tersebut dapat dilakukan melalui keikutsertaan perempuan membangun suatu partai politik atau menjadi bagian dari partai politik. Pemberlakukan keterwakilan perempuan sebesar 30% dalam Undang-undang Pemilihan Umum, belum sepenuhnya menjadikan perempuan terwakili dalam proses pemilihan umum, namun secara statistik, telah ada penambahan kandidat peserta Pemilu perempuan yang siginifikan setelah pemberlakuan keterwakilan pertama kali dikenalkan pada Undang-undang Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 65 ayat (1).


Konstitusi UUD RI 1945, dan UU tentang Pemilu telah mengatur tentang keterwakilan perempuan dalam Pemilu, namun sesungguhnya partai politiklah yang mempunyai otonomi organisasi yang secara internal menentukan keputusan pencalonan berbasis gender.


Konstitusi akan memberikan sanksi yang diberikan pada saat proses pemilihan umum, atau publik yang akan memberikan penilaian tentang kandidat yang mengikuti proses pemilihan umum. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kuota gender partai politik pada Pemilihan Umum, beserta sanksinya, juga penafsiran umum tentang moral politik, berkaitan erat dengan jaminan hak asasi manusia dalam konstitusi suatu negara.


Terkait aturan khusus bagi perempuan dalam pemilu, kita bisa melihat Tunisia. Ennahda dalam penelitiannya, saat terjadi revolusi 2011 di Tunisia yang mempunyai sistem negara yang bersifat patriarchy, menyimpulkan bahwa negara telah memberikan ruang bagi perempuan untuk menyuarakan hak asasinya dalam upaya mengikuti pemilihan umum, pada perubahan konstitusi Tunisia. 


Perubahan konstitusi tersebut mengamanatkan kepada partai politik untuk memberikan porsi keterwakilan dalam pemilihan umum. Perlakuan khusus atau dalam istilah yang dibuat H.L.A Hart’s “special rights”, seseorang mempunyai hak istimewa, karena adanya upaya untuk membuat hak yang istimewa pada orang tersebut, bahkan beberapa hak khusus diberikan terkait dengan peran sosial di masyarakat, dalam kaitannya dengan sebagai anggota komunitas politik. 

Perlakuan yang khusus inilah yang membuat perempuan mempunyai sesuatu yang penting, sehingga Undang-undang Pemilu menjadikan keterwakilan perempuan dalam Pemilu sebagai hak yang khusus, dan diberikan kepada perempuan.


Politik hukum pasca reformasi, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003, dengan frasa memperhatikan keterwakilan perempuan, adalah garis kebijakan resmi mengenai Undang-undang Pemilu yang akan diselenggarakan tahun 2004, keberlakuan hukum tentang Pemilu baik dengan Undang-Undang sebelumnya maupun Undang-undang 12 Tahun 2003, adalah untuk mencapai tujuan negara. 


Dengan dimulainya politik hukum tentang keterwakilan perempuan pada Pemilu dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003, merupakan batu pijakan dan salah satu upaya emansipasi perempuan dan pengakuan hak politik perempuan untuk masuk parlemen.


Seiring dengan era reformasi yang semakin terbuka ditandai dengan hidupnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat, tentunya memberikan kesempatan yang luas kepada setiap warga negara untuk menikmatinya. Anggota masyarakat perlu berpartisipasi dalam penentuan kebijakan pemerintah tanpa membedakan jenis kelamin (Gender) baik laki-laki maupun perempuan di dalam kehidupan sosial berbangsa, setiap warga negara pada dasarnya tidak berbeda atas hak dan kewajibannya, semuanya sama di hadapan hukum, termasuk hak berpolitik, dan hak untuk memberikan pendapat.


أحدث أقدم
Post ADS 1