Mendorong Partisipasi Perempuan Dalam Pemilu

Grobogan, NU Online - Partisipasi perempuan dalam pemilu tidak hanya terwujud dalam keikutsertaan sebagai kader partai atau calon dalam pemilu saja. Perempuan juga bisa aktif sebagai penyelenggara dan pengawas pemilu. 

Hal ini telah dijamin dan diatur dalam UU nomor 7 tahun 2017 dalam Pasal 92 Ayat (11) tentang komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.  Semestinya frasa “memperhatikan” menjadi catatan bagi penguatan Demokrasi yang berspektif gender dengan menghadirkan kesetaraan gender dalam pengambilan keputusan walaupun bukan suatu kewajiban tetapi beririsan terhadap penentuan kebijakan penyelenggaraan pemilu dalam sistem Demokrasi. 

Pergerakan politik perempuan menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan reformasi untuk demokrasi.
Kehadiran perempuan  sebagai penyelenggara maupun pengawas Pemilu telah memberi warna dalam berbagai kegiatan pencegahan maupun pengawasan. 

Perempuan memiliki gaya atau style kepemimpinan yang khas, memiliki pendekatan logika dan pendekatan persuasive dalam memotivasi masyarakat maupun menghindari politik uang serta kecurangan dalam Pemilu.

Propaganda politik dan berbagai upaya mengubah orientasi mendorong kaum perempuan ikut aktif berpartisipasi sebagai pengawas pemilu. Partisipasi politik perempuan sangat mempengaruhi kemampuan dan kecakapan untuk memikul tanggung jawab, mengambil keputusan, juga berorientasi pada pelayanan lingkungan dan minat yang mencerminkan keuletan dan kelebihan seorang srikandi pengawas.

Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan politik diekspektasikan akan meningkatkan demokrasi. Batasan ruang lingkup partisipasi perempuan dalam penyelenggaraan pemilu sejatinya juga disebabkan oleh proses politik. Lembaga penyelenggara pemilu sangat didominasi oleh laki-laki, sehingga nilai, kepentingan, aspirasi, serta prioritas mereka menentukan agenda politik terlalu mendominasi proses politik dan kebijakan publik yang dihasilkan. 

Padahal perempuan memiliki nilai, kepentingan kebutuhan dan aspirasi yang berbeda dengan laki-laki. Perbedaan ini sangat penting untuk dapat terwakili sebagai srikandi penyelenggara pemilu, untuk memberikan perubahan terhadap proses politik ke arah yang lebih demokratis.
Diskursus mengenai keterlibatan perempuan dalam pengawasan politik, merupakan indikasi kemajuan dan kualitas demokrasi yang menyatakan bahwa seharusnya setiap pengambilan kebijakan senantiasa menghadirkan sensitifitas gender. 

Tiada demokrasi tanpa partisipasi politik warga, sebab partisipasi merupakan esensi dari demokrasi. Sebagai salah satu intrumen demokrasi, pemilu merupakan sarana untuk mengukur kualitas dan kuantitas partisipasi masyarakat. Sehingga keterlibatan setiap elemen masyarakat menjadi syarat mutlak bagi keberlangsungan demokrasi. 

Keikutsertaan perempuan sebagai pengawas pemilu tidak dapat dilepaskan dari adanya motif yang mendorong politik perempuan dan menentukan bentuk dari berpartisipasi. Dukungan keluarga dan masyarakat sangat membantu kaum perempuan dapat melaksanakan kerja-kerja pengawasan.

Tantangan berat bagi perempuan Indonesia saat ini, diantaranya masih adanya keraguan di kalangan masyarakat tertentu apakah perempuan siap dan mampu menjalankan fungsi dan peran sebagai pengawas pemilu. Persoalan yang dihadapi perempuan lebih disebabkan kendala nilai sosial budaya yang tidak memberi akses dan kesempatan menduduki posisi sentral di lembaga-lembaga politik, kendatipun aspek kemampuan intelegensi, manajerial dan kemampuan kepemimpinan perempuan Indonesia memiliki kualitas yang memadai dan setara dengan kaum lelaki.

Di sisi lain masih kurangnya pengetahuan perempuan tentang pemilu,  faktor kedudukan kaum perempuan dalam rumah tangga yang terikat dan membelenggu hak-hak kebebasannya, dengan izin dari suami serta tugas merawat dan mengasuh dalam rumah tangga menjadikan kaum perempuan enggan untuk turut berkiprah sebagai pengawas pemilu. Perjuangan kedepan adalah bagaimana strategi yang harus ditempuh agar keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu sebanyak 30% dapat menjadi kenyataan.

Dengan disepakatinya kuota 30% bagi perempuan untuk duduk di parlemen, di satu sisi merupakan agenda besar bagi perempuan untuk menetapkan langkahnya berpartisipasi dan turut serta dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik, dan menyuarakan aspirasi perempuan yang selama ini terpinggirkan dan juga mengubah kondisi masyarakat kearah yang lebih baik dan demokratis. Di tengah banyaknya informasi media yang simpang siur, literasi politik oleh perempuan juga menjadi penting sebagai modal partisipasi perempuan. Sehingga kandidat yang terpilih juga mampu mengakomodasi aspirasi dan tuntutan-tuntutan perempuan. 

Untuk memaksimalkan partisipasi perempuan pada penyelenggaraan pemilu, yang menjadi menarik adalah bagaimana mengorganisasikan dan memaksimalkan relawan perempuan.  sehingga  perlu dilibatkan dalam advokasi isu perempuan.
Saat ini sudah waktunya perempuan mengoptimalkan peranannya  guna mengubah kebijakan yang masih didominasi kepetingan laki-laki dan buta gender (gender blind). 

Perempuan harus mengejar ketertinggalannya selama ini dengan bekerja ekstra, memberdayakan para kandidat yang akan duduk di lembaga formal dengan membekali pendidikan, kemampuan kepemimpinan guna mendukung kinerjanya sebagai Pengawas politik, Perempuan harus keluar rumah, bangun organisasi dan pergerakan perempuan melawan partriarki, militerisme dan kapitalisme, serta mengimplementasi hak-hak politik dan partisipasi politik agar terwujudnya demokrasi yang berkeadilan dalam perspektif gender.

Penulis : Siti Khofifah


Lebih baru Lebih lama
Post ADS 1